Kamis, 11 Maret 2010

LAGU RINDU UNTUK ELIA

Oleh Annisa Ulfa

Masih selalu kuingat, janji persahabatan antara aku dan Elia, sebuah janji sahabat sejati, sahabat sampai mati. Elia adalah sahabat yang baik, dia yang selalu melindungiku. Mungkin karena kita sudah terbiasa bersama dari mulai TK, SD, SMP sampai di akhir hayatnya ketika dia kelas XII Bahasa Semester I SMAN 2 Jakarta. Satu sekolah sama aku, dia juga satu kelas sama aku. Setiap berangkat sekolah, selalu bersama karena rumah Elia hanya berjarak tiga rumah sebelah barat dari rumahku, di blok A No. 125 Pondok Indah.
Setelah enam bulan yang lalu, Elia pergi meninggalkan dunia yang fana ini untuk selamanya, yang tidak mungkin bisa kembali.
Begitu masih membekas dalam ingatanku hari-hari terakhir Elia. Hari-hari akhir aku bersamanya. Pegi itu, pagi yang cerah ketika kami berangkat sekolah. Elia selalu menghampiri ke rumahku, aku yang selalu menumpang motornya.
“Mitha.... kamu tuh ya, kalau berdandan lama benget. Kayak mau fashion show saja,” ledek Elia yang sedang duduk di depan rumahku.
“Sory-sory...”
“Kamu bisanya Cuma minta maaf saja!”
“Berangkat yuk, nanti kesiangan lo!”
Kalau diteruskan wah ledekannya bisa ke mana-mana dia.
“Kamu yang bikin kesiangan!” kata Elia tak mau mengalah.

Saat di perjalanan, Elia begitu ceria sekali walaupun dia ngeledek aku terus.
“Mitha,... gimana kisah kamu sama si dia?”
“Kisah apa?”
“Ya, kamu sama Doni.”
“Doni siapa?”
“Lupa, apa pura-pura lupa?” tanyanya menggoda.
“Doni sudah saya lupain.”
“Yakin...?” tanya Elia dengan nada menyelidik.
“Aku sudah punya kamu, aku pacaran sama kamu saja,” gantian aku mencoba menggoda.
“Idih, aku masih normal kali,” jawab Elia terus tertawa terbahak-bahak.

Itulah canda tawa Elia di akhir hidupnya. Di detik-detik kematiannya. Dan itulah hari pertama Elia kelihatan aneh, dengan tubuh lemas dan wajahnya terlihat pucat.

Sesampainya di sekolah, kita langsung ganti baju olahraga karena pelajaran pertama adalah olahraga. Tidak seperti pagi harinya, ketika Elia menghampiri ke rumahku, dan saat bersama di jalan. Elia berubah 180 derajat. Elia tiba-tiba lemas, tubuhnya tak berdaya, wajahnya memutih, dia terlihat lesu.
‘Kamu kenapa?”
Saat itu, Elia sedang duduk di pinggir lapangan basket.
“Aku tidak apa-apa. Tiba-tiba saja aku tidak enak badan,” kata Elia yang mencoba menyandarkan kepalanya di bahuku.
Kuperhatikan wajahnya sambil kupegang tangannya yang lemas tampak seperti tidak bertulang.
“Wajah kamu pucat, tangan dan kakimu dingin.”
Aku menghadap pak Doniguru olahraga untuk meinta izin membawa Elia ke ruang UKS.
Kupapah dia. Dia mampu berjalan, tetapi pelan sekali. Hampir-hampir tak berdaya.
Kutatap wajahnya. Pucat. Kugoncang-goncangkan tubuhnya.
“Kamu kenapa Elia?”
Elia diam saja. Aku makin khawatir.
Sampai di UKS, dia hanya duduk di ranjang dengan mulut tertutup. Tidak satu kata pun dia ucapkan. Tiba-tiba aku melihat hidup Elia mengeluarkan darah. Darah itu merah segar dan menetes tepat di tanganku.
“Tidak apa-apa, aku sudha terbiasa,” jawabnya tenang tanpa ekspresi.
“Sudah terbiasa, maksud kamu apa?” aku makin panik dengan perkataan Elia.
“Sudahlah, ambilkan aku tissu saja,” kata Elia dengan nada suara menahan sakit.

Setelah kejadian itu, Elia tetap masuk sekolah.
“Kan, mau ujian, nanti aku ketinggalan pelajaran,” itulah alasan yang diucapkan Elia ketika dia terlihat tidak baik. Aku sebagai sahabat selalu berdoa semoga Elia tidak sakit lagi. Hari itu, hari Rabu, hari kedua Elia terlihat aneh, awalnya baik-baik saja, tetapi setelah istirahat tiba-tiba Elia pingsan di kelas.
“Elia...,” teman-teman berteriak-teriak melihat Elia terjatuh di lantai. Aku berlari menghampiri. Dibantu teman-teman, aku membawa Elia ke ruang UKS. Setelah menunggu cukup lama Elia bangun dari pingsannya.
“Kamu kenapa?” tanyaku begitu Elia membuka mata.
Namun Elia tidak menjawab. Dia hanya diam saja, aku rapikan pakaiannya. Aku masih diam. Tiba-tiba Elia bergerak. Memandangiku lalu berkata lirih.
“Ke kelas yuk!” kata Elia sambil berusaha beranjak turun dari ranjang. Aku cegah dia.
“Kamu di sini saja, kamu istirahat di sini!” ucapku ngotot.
“Aku tidak betah di sini. Aku sehat Mitha. Aku tidak mau ketinggalan pelajaran.”
Selalu itu alasan yang Elia sampaikan.
“Aku tidak mau ketinggalan pelajaran.”

Elia memang murid yang pandai. Dia selalu mendapat peringkat satu. Dia yang selalu menjadi rival beratku. Aku selalu hanya mendapat peringkat dua. Walaupun begitu Elia tetap menjadi sahabatku.

Hari Kamis tanggal 30 Oktober 2009, mungkin aku tidak akan pernah menyangka itulah hari terakhir aku melihat senyuman Elia. Terakhir kalinya aku bertemu dengannya. Dan hari ketiga Elia pingsan di kelas. Keeseoakn harinya, Elia tidak masuk sekolah. Aku datang ke rumahnya. Namuan, aku tidak mendapatkan jawaban yang berarti. Rumah Elia terkunci rapat. Kosong seperti tidak berpenghuni. Mengapa tiba-tiba Elia dan keluarganya menghilang? Aku telepon Elia. Tidak ada jawaban. Aku SMS, tidak ada balasan.
HP-ku berdering, lagu Kau Tahu-nya UNGU mengalun. Aku tidak tahu siapa yang menelponku. Nomornya belum tersimpan di HP-ku. Dalam hati aku berharap itu telepon dari Elia.
“Mitha, ini Tante Ratna,” kata suara di seberang sana. Aku terkejut, Tante Ratna adalah ibu Elia.
“Tante, Elia mana Tante. Elia kenapa?” tanyaku tak sabar.
Terdengar Tante Ratna menangis.
“Elia....”
“Kenapa Tante?”
Tante Ratna tidak meneruskan kata-katanya karena terputus oleh tangisan.
“Elia Mitha...”
“Ya, Elia kenapa, Tante?” tanyaku sedikit mendesak.
“Kamu ke sini saja kalau mau tahu jawabannya. Kami di rumah sakit Permata Bunda,” suara Tante Ratna lirih yang langsung menutup teleponnya.
Rumah sakit. Memangnya siapa yang sakit. Aku langsung teringat pada Elia. Apakah Elia sakit lagi? Dan bertambah parah?
Selanjutnya, tanpa pikir panjang aku langsung meluncur ke Permata Bunda bersama Mama.
Sesampai di sana, di ruang ICU, ruangan di mana kulihat semua keluarga Elia berada di sana. Mereka menangis di samping sesosok tubuh yang tertutup kain putih.
“Elia,...” aku berlari menghampur di tubuh itu.
“Elia kenapa kamu tinggalkan aku. Kenapa kamu pergi?”
Aku menangis sejadi-jadinya. Aku tidak berani membuka kain putih yang menutupi tubuh itu. Aku tak tega.
“Sudah Mitha, sudah. Biarkan Elia tenang di alam sana.”
Mama berusaha menenangkanku.
“Elia Ma, Elia!”
Aku menangis di pelukan Mama.
Aku tatap wajah Tante Ratna.
“Kenapa Tante, kenapa Tante tidak bilang kalau Elia dirawat di sini?”
Kutarik-tarik tangan Tante Ratna.
“Selama ini Tante sudah berusaha maksimal untuk kehidupan Elia. Tapi apa hasilnya. Elia pergi untuk selamanya. Meninggalkan kita semua.” Tante Ratna mencoba menenangkanku. Aku mulai terdiam. Aku mengentikan emosiku. Walaupun aku tidak kuat lagi menahan air mata yang terus meleleh. Semua orang yang ada di ruangan itu menangis. Yang ada hanya tangis dan tangis yang mneyelimuti ruang ICU.
“Apa maksud Tante, apa Tante?” Tante Ratna tidak menjawabnya. Dia hanya memberikan sebuah buku.
“Apa ini Tante?”
“Bacalah jika kamu mau tahu apa sebenarnya terjadi dengan Elia.”
Kemudian aku membuka halaman pertama, kedua, dan ketiga,..... Setelah selesai kubaca aku baru mengerti ternyata Elia selama ini menyembunyikan penyakitnya padaku. Penyakit yang membunuhnya.
Kenapa Elia, kenapa kau hanya diam saja. Aku masih terisak di sampingnya.
“Elia tidak ingin melihat sahabatnya sedih,” sahut Tante Ratna.
Elia menderita leukimia stadium 4. Elia kehilangan nyawanya. Elia pergi untuk selamanya.
Aku terus menangis dan menangis sampai ke pemakamannya. Dengan pakaian serba hitam aku antarkan kepergian Elia.

* * *

Hilang sudah sahabat yang kucinta. Dia telah pergi dan takkan kembali lagi untuk selamanya.
“Elia, aku akan selalu merindukanmu. Aku akan terus menyayangimu dalam hidupmu. Semoga kau tenang di alam sana.” Itulah kalimat terakhir yang aku katakan sebelum aku meninggalkan tempat pemakaman.
Itulah kisahku tentang sahabat sejatiku. Sampai mati. Enam bulan aku tidak bersamanya, aku hadapi tantangan dunia ini sendiri, tanpa sahabatku Elia.

* * *

Pengumuman kelulusan telah tiba. Aku mendapat juara pertama. Aku bahagia sekali. Setelah itu aku langsung berziarah ke makam Elia.
“Elia, ini aku, Mitha sahabatmu. Tahu tidak, aku mendapat juara pertama, dan aku mendapatkan beasiswa di Universitas Indonesia di Jakarta, kampus impian kita,” kataku sambil memandangi nisan yang bertuliskan namanya. Aku tidak kuat membendung air mata yang perlahan mengalir di pipiku. Kutaburkan bunga dan kubacakan surat Al Fatihah untuknya.
Elia memang sudah tiada, tetapi aku tetap selalu ingat nasihatnya, ucapannya, canda tawanya. Elia begitu tegar, walaupun penyakit leukimia menggerogoti perlahan dia tetap tabah dan tegar. Walaupun Elia telah pergi dia akan selalu menjadi sahabatku, sahabat sejati, sahabat sampai mati.
Semoga Elia senang. Aku manfaatkan keahlianku bermain piano dengan menciptakan lagu yang berjudul Lagu Rindu untuk Elia agar aku setiap waktu selalu ingat pada Elia sahabat sejatiku.

4 komentar:

  1. Cerpenya bagus saya beri nilai 83, inilah nilai yang terperinci
    1. ALUR: 16
    2. TOKOH: 12
    3. LATAR: 16
    4. SUDUT: 6
    5. JUDUL; 9
    6. GAYA : 6
    7. EJAAN : 6
    8. TEMA: 12

    BalasHapus
  2. isi cerpenya menarik akan tetapi akan lebih menarik jika tokoh ceritanya itu dijelaskan secara terperinci. jika kamu mengikuti saranku cerpen kamu pasti masuk di koran suara merdeka

    BalasHapus
  3. isi cerpennya sangat bagus. kalau dibaca sangat berkesan. tokoh2nya sudah jelas dan amanatnya pun cukup baik. di cerpen itu terdapat pesan moral sangat bagus. ejaannya sudah baik, namun ada sedikit kesalahan, contohnya pada kata hidup seharusnya hidung. judulnya menarik, dan dapat membuat pambaca penasaran. saya beri nilai 86.

    BalasHapus
  4. cerpen ini sudah bagus. Pembuka dan penutup cerpennya sudah pas. Hanya yang perlu ditambahkan adalah ketegangan di waktu Mitha di rumah sakit.

    Selain itu perlu diberikan penjelasan tentang kegawatan penyakit leukimia stadium 4 itu. Penjelasan itu bisa disampaikan oleh dokter.

    Misalnya Mitha meminta dokter untuk menjelaskan sakitnya Elia.

    Dokter kemudian menjelasknan leukimia stadium 1,2,3, dan 4 beserta gejala, penanganan, penobatan, pantangan, dan lain-lain.

    semoga bermanfaat.

    BalasHapus